Kamu termasuk yang doyan dandan? Bagus atuh, asal dandanannya yang bener. Maksudnya yang menutup aurat gitu lho. Kalo sampe anak cewek berpakaian yang justru malah memperlihatkan bagian “DAJAL” alias dada dan bujal (baca: udel) itu udah keterlaluan banget. Apalagi setiap jengkal dari auratnya sangat mudah ditelusuri mata-mata cowok nggak tahu diri dan nggak tahu syariat. Lho, emangnya nggak boleh ya berpakaian seperti itu? Boleh, asal kamu pakenya di dalam kamar kamu sendirian. Jangan dipamerin di muka umum, Non.
Berpakaian itu adalah bagian dari gaya dan identitas lho. Nggak percaya? Suku Asmat di Papua sana, mereka yang masih mengenakan koteka dan setia dengan pakaian adatnya, sebenarnya ia sudah mengkomunikasikan kepada siapa pun bahwa mereka punya gaya sendiri dan tentunya identitas khas mereka. Punya nilai dan punya pendapat sendiri.
Bagaimana dengan yang ditindik or pearcing? Nah, memang dibilangnya itu gaya, life style, dan tentunya emang jadi identitas dong. Selain pengen nunjukkin kalo dirinya anak gaul, juga biar bisa gabung dengan komunitas yang begituan juga. Jadinya, ya memang sengaja bikin identitas diri. Persis jaman dulu, di tahun 60-an ada gaya hippies, terkenal banget. Bukan hanya terkenal karena gerakan protesnya menentang norma-norma seksual yang puritan, etika protestan, gerakan-gerakan mahasiswa menentang perang, anti senjata nuklir, anti masyarakat yang fasis, militeris, nggak manusiawi en nggak natural, tapi juga mendunia alias masyhur dengan simbol-simbol yang dikenakannya. Kalung manik-manik, celana jins, kaftan—jubah longgar sepanjang betis—yang pada awalnya merupakan pakaian tradisional Turki, sandal, mantel, dan jaket yang dijahit dan disulam sendiri, untuk membedakan mereka dengan golongan orang-orang yang memakai stelan resmi dan berdasi.
Kaftan banyak digunakan sebagai pakaian khas orang-orang hippies karena jenis pakaian ini biasanya berharga murah, sehingga nggak berkesan borjuis, dan membebaskan pemakainya dari kungkungan kerah, kancing en ikat pinggang yang ketat. Oya, simbol yang paling mencolok adalah rambut mereka yang panjang dan lurus. Rambut-rambut yang natural, tanpa cat, tanpa alat pengeriting, tanpa dihiasi dengan pernik-pernik apapun, tanpa wig. Kaum laki-laki hippies juga memelihara rambut panjang, lengkap dengan janggut dan kumis yang dibiarkan tumbuh lebat tanpa dipotong. Ini yang membedakan mereka dari golongan orang tua mereka. Sepuluh tahun kemudian gaya hippies yang pada awalnya tumbuh untuk menentang kemapanan ini mendapat serangan dari golongan The Skinheads (kepala plontos).
Kalo anak masjid gimana? Ya, sama aja. Gayanya pasti beda dong dengan anak nongkrong, meski nongkrong dalam arti sesungguhnya pasti banyak yang melakukannya pada pagi hari di ruangan sempit bernama WC (eh, jangan jorse ya, tulis aja dengan bahasa kiasan, lagi nge-download, gitu! Hehehe.. emangnya ngunduh file di internet!).
Yoi man, anak masjid ama anak yang suka ngongkrong di pinggir jalan pasti beda gaya. Wong tempat mangkalnya aja beda. Anak nongkrong yang berduit bisa ngumpul di café atawa diskotik sekalian dugem. Kalo bokek ya di pinggir jalan sambil nyanyi-nyanyi nggak karuan. So, beda banget gayanya dan pasti identitas yang ingin ditunjukkin ke orang-orang juga beda tujuannya. Iya nggak sih?
Jangan mau dijajah gaya hidup ngawur
Kenapa sih sebagian dari kita merasa senang dan bangga kalo masuk komunitas anak gaul? Yup, karena pencitraan terhadap anak gaul saat ini adalah anak yang ngerti dan bisa ngikutin perkembangan jaman. Lebih gawat lagi kalo kemudian jadi gaya hidup dan identitas dirinya. Namanya juga gaya hidup, berarti bagian dari aturan hidupnya. Misalnya aja berpakaian, mereka milih dong pakaian yang cocok sebagai anak gaul. Nggak mungkin anak gaul pake sarungan ama peci. Bukan cuma takut dianggap anak santri tapi khawatir diledekin “belum kering” karena abis sunat atau disangka mo ngeronda.
Sebenarnya kamu bisa tersiksa lho dengan gaya dan identitas kamu yang kayak gitu. Mending kalo benar dan baik, lha kalo salah dan ngawur? Emang sih setiap orang ingin punya citra diri agar bisa diterima di level sosial tertentu. Ya, citra merupakan bagian yang nggak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat modern. Citra udah jadi menu harian bagi masyarakat yang kenal peradaban.
Kamu yang tinggal di perkotaan (bahasa kerennya urban), citra merupakan media komunikasi atas suatu kelas sosial. Kamu pengen nampilin dirimu seperti yang kamu inginkan di hadapan publik. Nah, citra ini emang akan membentuk penggunanya untuk tetap berada dalam kelompok sosialnya. Itulah mengapa anak masjid ya gaulnya ama anak masjid, anak jalanan juga cocok gabung ama anak jalanan lagi. Ada kesamaan pikir dan rasa. Pokoknya, citra juga bisa digunain untuk mempertahankan eksistensi dan menyampaikan sebuah pengakuan atas identitas diri. Seperti yang di sampaikan Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959), “kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal yang diritualkan, yang kemudian dikenal sebagai pendekatan dramatugi “(dramtugical approach).
Citra dan penampilan diri seolah menjadi suatu keharusan bagi semua manusia yang ingin dianggap modern, classy, gaul dan metropolis. Atau yang disebut Mike Featherstone dengan “estetisasi kehidupan sehari-hari”(Consumer Culture and Postmodern; 1991).
Intinya nih, jangan mau dijajah oleh gaya hidup yang nggak benar dan nggak baik, apalagi gaya hidup yang ngawur. Misalnya, dalam komunitasmu doyan seks bebas, konsumsi narkoba, harus pake baju tertntu yang ngumbar aurat, pake seragam kayak gini, dan itu sebuah keharusan yang nggak bisa ditawar lagi. Itu namanya kamu dijajah oleh gaya hidup ngawur. Jangan mau terus begitu deh.
Be your self
Kamu pernah nonton film Face Off yang dibintangi John Travolta dan Nicolas Cage? Wah, punya wajah yang ketukar rasanya risih juga ya? Detektif Sean Archer yang diperankan John Travolta melalui operasi plastik saat kecelakaan ditukar dengan wajah milik Castro Troy (Nicolas Cage)—bajingan yang membunuh anaknya. Problem baru muncul, Sean dengan wajah Castro dipenjara, sementara Castro dengan wajah Sean berkeliaran dan berusaha membunuhnya. Wuih, bayangkan, punya wajah orang lain, padahal jasadnya adalah jasad kita. Pikiran dan perasaannya juga punya kita. Berabe banget kan?
Kira-kira kalo boleh ngambil ‘hikmah’ dari film tersebut, kita bisa tahu, meski berlindung di balik wajah orang lain, tapi kita adalah diri kita. Makanya tepat, unsur pembentuk kepribadian adalah akal dan jiwa kita bukan wajah or assesoris lainnya. Kamu akan tetap menjadi dirimu, meski kamu berusaha menutupi kelemahan kamu dengan kedok wajah atau perilaku orang lain. Dengan maksud kamu tak dikenali identitas aslinya, karena mendompleng ketenaran orang lain. Lalu kamu puas dan bisa ikutan tenar. Padahal sejatinya, kamu tetap kamu, bukan siapa-siapa.
Hal lain yang sering membuat teman-teman remaja termakan budaya yang nggak benar adalah karena merasa bahwa hal itu ibarat pilihan antara hidup atau mati. Merasa bahwa bila nggak tampil gaya, identitasnya bakal bermasalah di mata teman-teman kamu. Ujung-ujungnya kamu takut nggak diterima dalam kelompok kamu.
Kamu bisa saksikan ada anak-anak muda yang merasa perlu menetapkan ciri-ciri kelompok mereka. Misalnya saja dari sisi jenis musik yang digandrungi. Mereka akan membentuk gank yang ciri-cirinya mirip gaya pemusik atau kelompok musik pujaannya. Misalnya saja, setiap anak yang mau gabung dengan gank yang maniak musik metal atau heavy metal, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: tampang harus Romusa alias Roman Muka Sadis atau Primus (Pria Muka Setan), badan dipenuhi tatto yang serem-serem—misalnya gambar tengkorak (tapi bukan tengkorak ikan, lho), terus rambutnya gondrong lurus (soalnya kalo kriting or galing itu cocok untuk jenis musik dangdut!), selain itu mungkin juga ‘diwajibkan’ mengamalkan ‘jampi-jampi’ seperti ini: “Aku berlindung kepada metal, dari godaan dangdut yang terkutuk!” Gubrak! (sambil megangin jidat yang benjut)
Wah, berabe juga ternyata, ya? Iya lah. Apalagi identitas yang dibangun ternyata berlandaskan gaya hidup peradaban lain—selain Islam. Kalo remaja Islam banyak yang tampil bukan dengan identitas Islam, alamat kebangkitan Islam masih jauh panggang dari api. Iya, dong, gimana bisa bangkit, lha wong kaum musliminnya aja ogah bergaya hidup islami. Sedih banget Bro. Suer, identitas sebagai seorang muslim lenyap dan berganti dengan identitas dari ideologi/agama lain. Rekan remaja yang seperti itu kan berarti pikiran dan jiwanya nggak dipoles dengan ajaran Islam. Jelas dong. Kalo udah islami, mana mungkin mau berbuat begitu. Iya nggak?
Identitas diri? Cukup Islam saja ya
Soal gaya dan identitas remaja ini memang awalnya adalah persoalan mubah. Dalam artian bahwa bergaya itu sendiri dibolehkan. Tapi masalahnya adalah, gaya remaja sekarang udah banyak yang mengarah kepada identitas suatu kaum atau peradaban tertentu yang memang bukan berasal dari ajaran Islam. Bagi teman-teman remaja nggak usahlah ngikutin gaya yang merupakan identitas kepribadian peradaban selain Islam. Jangan ikut-ikutan yang nggak bener deh. Rasulullah saw. bersabda:
“Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Baginda bersabda: Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR Bukhari Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar